Wednesday, December 30, 2015

Materi Ecommerce : Macam-macam Karakter Konsumen di Indonesia



Karakter konsumen di Indonesia sangat bermacam- macam dan bisa dikelompokkan ke dalam beberapa karakter besar,diantaranya :

1.  Berpikir Jangka Pendek
Sebagian besar konsumen Indonesia hanya berpikir  jangka pendek dan sulit diajak berpikir jangka panjang salah satu cirinya adalah dengan mencari yang serba Instant. Produk semacam Extra Joss,Hemaviton Jreng,Indomie dsbnya laris manis. Sebaliknya masih sangat susah sekali memasarkan asuransi pada sebagian besar penduduk indonesia karena konsumen cenderung enggan melakukan investasi (dalam bentuk apapun) yang hasilnya bisa dinikmati mungkin belasan tahun ke depan. Salah satu strategi yang masih ampuh untuk konsumen berpikiran pendek adalah dengan memberikan Discount dan hadiah langsung. Survei AC Nielsen menunjukkan 76% pembeli menyukai diskon harga dan 18% menyukai hadiah langsung.

2. Tidak Terencana.
Konsumen Indonesia termasuk konsumen yang tidak terbiasa merencanakan sesuatu. Sekalipun sudah,tapi mereka akan mengambil keputusan pada saat-saat terakhir.Kebiasaan ini mirip dengan kebiasaan konsumen kelas satu. Namun jika kebiasaan pertama tidak melihat jauh ke depan, kebiasaan kedua ini tidak menyiapkan sesuatu jauh di belakang.
Salah satu bentuk perilaku konsumen yang tidak punya rencana adalah terjadinya impulse buying (membeli tanpa rencana / spontan membeli ketika tertarik dengan sebuah produk). Berdasarkan survei Nielsen,ternyata 85% pembelanja ritel modern cenderung untuk berbelanja sesuatu yang tidak direncanakan. Strategi yang paling baik untuk karakter ini adalah dengan membuat display semenarik mungkin dan strategis tempatnya atau bisa juga dibantu dengan SPG.
 3. Suka Berkumpul
Kebiasaan suka berkumpul sudah melekat dalam budaya konsumen kita,sampai adanya istilah “mangan ora mangan ngumpul” dalam masyarakat jawa.Strategi paling efektif untuk karakter ini adalah strategi komunikasi Word of mouth, ini terbukti dari riset para pembeli rumah lewat KPR, awareness tertinggi konsumen terhadap produk KPR bukanlah berasal dari iklan atau brosur, tetapi justru datang dari teman atau relasi.
Kesuksesan yang di raih Amanda brownies dan Kartika Sari dari Bandung juga mengandalkan strategi ini. Kata kunci dari strategi word of mouth ini adalah terletak pada opini leader dari komunitas yang ada. Sebab jika sang pemimpin bisa diyakinkan pada sebuah merk, maka dia akan memberikan rekomendasi kepada komunitasnya.

4. Gagap Teknologi
Rendahnya penetrasi teknologi tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas konsumen kita relatif masih “gaptek” sehingga adopsi terhadap suatu teknologi relatif jauh lebih lambat.
Hal ini tampak dalam survei Frontier tentang alasan konsumen tidak menggunakan mobile banking, 32,66% mengatakan tidak tahu mengoperasikannya dan 16,75 menganggapnya tidak aman. Begitu juga dengan penetrasi penggunaan internet, baru menyentuh angka 9,0% bandingkan dengan malaysia yang penetrasinya sudah 47,8%.
Rendahnya tingkat penetrasi produk teknologi tinggi ini berhubungan erat dengan dengan tingkat pendidikan masyarakat kita. Namun jangan pesimis dulu.  Sebab,konsumen yang berusia muda kini lebih adaptif dengan teknologi baru karena dorongan arus globalisasi.Sayangnya,daya beli mereka tidak begitu tinggi. Untuk mengatasi masalah daya beli ini, pemasar bisa mengusung strategi prince bundling, seperti yang di lakukan Fren, Esia,Flexi dan yang lainya.Bisa juga dengan mempermudah penggunaanyaseperti yang dilakukan oleh Nokia.

 5. Orientasi Pada Konteks
Konsumen kita cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu,konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru lebih menarik ketimbang hal itu sendiri. Tiga ciri spesifik konsumen kita dalam menyerap informasi.
•    Pertama, memiliki minat baca yang rendah.
•    Kedua,memilih segala sesuatu-baik dari membaca atau menonton yang ringan dan menghibur.
•    Ketiga, mudah diubah persepsinya.
Dampak dari ciri tersebut terhadap perilaku komsumsi orang Indonesia dibuktikan dengan layanan informasi SMS yang didominasi layanan ring tones dan musik.Selain itu tampak pula dengan tingginya rating acara-acara infotainment. Keengganan membaca juga menyebabkan konsumen kurang memperhatikan informasi yang terdapat pada suatu produk.
Banyak produk farmasi yang mempunyai kandungan yang sama persis dan fungsi yang sama tetapi karena cara komunikasinya berbeda, akhirnya persepsi yang tercipta lain pula.Sekitar 99% konsumen kita tidak mengerti kandungan obat bebas.

6.  Suka Merk Luar Negeri

Soal menyamar, kita bisa belajar dari Polytron. Sebab sudah 28 tahun produk elektronika asli dalam negeri ini “menyamar” sebagai merek mancanegara, dan cukup berhasil. Kenapa harus menyamar  alasanya menyangkut image dan kualitas merek luar negeri yang dipersepsi lebih baik dan bergengsi dibandingkan buatan Indonesia.
Penjajahan selama berabad-abad,mau tidak mau memang membuat bangsa Indonesia sering memandang inferior terhadap diri sendiri atau bisa juga karena sifat gengsi sehingga membuat merek-merek dari luar negeri begitu mendominasi pasar Indonesia dibandingkan merek lokal.
Untunglah,sekarang sudah mulai banyak merek lokal yang unjuk gigi dipasar domestik walaupun beberapa diantaranya harus dengan cara menyamar seperti Polytron, Detron, Stanley Adams dll.

 7. Religius
Konsumen Indonesia sangat peduli terhadap isu agama.Inilah salah satu karakter khas konsumen Indonesia yang percaya pada ajaran agamanya. Konsumen akan lebih percaya jika perkataan itu dikemukakan oleh seorang tokoh agama,ulama atau pendeta. Konsumen juga suka dengan produk yang mengusung simbol-simbol agama. Sudah lama para pelaku bisnis memanfaatkan simbol-simbol agama dalam melakukan strategi pemasaranya.
Promag adalah contoh sukses yang memanfaatkan hal itu.Berkembangnya bank syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari ciri konsumen Indonesia yang peduli pada agama,begitu juga dengan asuransi syariah, pegadaian syariah dll.
Kepedulian konsumen soal agama juga tercermin dari perilaku mereka dalam memilih produk yang berlabel halal walaupun kadang harus membayar lebih mahal.

 8. Gengsi

Konsumen Indonesia amat getol dengan gengsi. Banyak yang ingin cepat naik “status” walau belum waktunya. Saking pentingnya urusan gengsi ini, mobil-mobil mewah pun tetap laris terjual di negeri kita pada saat krisis ekonomi sekalipun.
Menurut Handi Irawan D, ada tiga budaya yang menyebabkan gengsi,yaitu :
  • Konsumen Indonesia suka bersosialisasi sehingga mendorong orang untuk pamer.
  • Budaya feodal yang masih melekat sehingga menciptakan kelas-kelas sosial dan akhirnya terjadi “pembrontakan” untuk cepat naik kelas.
  • Masyarakat kita mengukur kesuksesan dengn materi dan jabatan sehingga mendorong untuk saling pamer.
Banyak sekali produk yang sukses di Indonesia dengan memanfaatkan sifat gengsi ini, Mercedes-Benz, BMW, Nokia Communicator dan lain sebagainya. Karena dengan membeli produk yang mahal,kesuksesan yang mereka peroleh dapat dilihat oleh orang lain.

9. Kuat di Subculture

Sekalipun konsumen Indonesia gengsi dan menyukai produk luar negeri, namun unsur fanatisme kedaerahan-nya ternyata cukup tinggi. Ini bukan berarti bertentangan dengan hukum perilaku yang lain.Pada produk-produk tertentu,ada hal yang bersifat lokal yang memang harus diperhatikan. Contohnya,orang Jawa suka manis, orang Padang suka yang pedas,orang Batak suka bicara keras,orang Semarang suka menawar dll.
Strategi pemasaran yang bisa di pakai adalah dengan membuat konten-konten lokal untuk kegiatan komunikasi atau dengan memperkuat aktifitas below the line di daerah dengan mengadopsi budaya lokal sehingga lebih mudah diterima konsumen setempat.

 10. Kurang peduli Lingkungan
Salah satu karakter konsumen Indonesia yang unik adalah kekurangpedulian mereka terhadap isu lingkungan.Tetapi jika melihat prospek kedepan kepedulian konsumen terhadap lingkungan akan semakin meningkat,terutama mereka yang tinggal di perkotaan begitu pula dengan kalangan menengah atas relatif lebih mudah paham dengan isu lingkungan. Lagi pula mereka pun memiliki daya beli terhadap harga premium sehingga akan lebih mudah memasarkan produk dengan tema ramah lingkungan terhadap mereka.
Sebaliknya,akan susah sekali memasarkan produk dengan tema ramah lingkungn untuk kalangan bawah.

No comments:

Post a Comment