Sahabat, di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara terdapat sebuah rumah mungil dengan satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper berkumpul di sudut rumah dan kasur-kasu digulung di sudut lainnya ruang besar itu. Di sanalah tempat tidur Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri RI) bersama istri dan anak-anaknya.
Dikontrakkan yang lain, Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.
Begitulah seperti dikisahkan Mr. Roem, murid dari H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi ini. Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’ menyebutkan bahwa H. Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakkan ke kontrakkan lain.
Dari satu gang ke gang lain. Berkali-kali Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya. “Selama hidupnya dia selalu melarat dan miskin,” kata Profesor Willem “Wim” Schermerhorn. Wim menjadi ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati. (Majalah Tempo Edisi Khusus Agus Salim)
Pernah, pada salah satu kontrakkan tersebut, toiletnya rusak. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber. Zainatun Nahar istrinya,tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di WC dan ia sendiri yang membuang kotoran istirnya menggunakan pispot.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi Ketua KNIP Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip perkataan mentornya yang paling terkenal: “leiden is lijden” (memimpin itu menderita) kata Agus Salim. Lihatlah bagaimana tak ada sumpah serapah meminta kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, dll.
Saat salah satu anak Salim wafat ia bahkan tak punya uang untuk membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru. “Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Salim. “Untuk yang mati, cukuplah kain itu.”
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.” Ya, seorang diplomat ulung, menteri, pendiri Bangsa yang mewakafkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah, bahwa memimpin itu adalah ibadah.
Seorang yang memilih jalan becek dan sunyi, berjalan kaki dengan tongkatnya dibanding gemerlap karpet merah dan mobil Land Cruiser, Alphard, dan gemerlap jantung kota lainnya. Kita tentu rindu sosok seperti mereka, bukan tentang melaratnya mereka, tapi tentang ruang kesederhanaan yang mengisi kekosongan nurani rakyat.
Ketika Wapres Mohammad Hata tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir hayat. Ketika Perdana Menteri Natsir menggunakan jas tambal, mengayuh sepeda ontel ke rumah kontrakkanya. Ketika Menteri keuangan Pak Syafrudin yang tak mampu membeli popok untuk anaknya. Semoga Allah hadirkan mereka, sebuah keteladanan yang mulai memudar di tengah gemerlap karpet merah Istana dan Senayan.
Ceritanya sangat inspiratif, terima kasih buat penulisnya. Mudah-mudahan bermanfaat buat semua.
Sumber : Rizki Lesus, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (islampos.com)
Stay cool in http://newmasgun.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment